Saya bukan ahli bahasa, ahli agama, atau ahli yang lain. Saya sekarang sedang menempuh pendidikan strata 1 (S-1) di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, tentu saya masih belum menjadi ahli apapun sekarang. Namun saya sebagai akademisi mencoba menelaah penggunaan kata “terima kasih” dalam kehidupan sehari-hari yang nampaknya kurang disukai oleh masyarakat (terutama yang saya lihat di sekitaran Kota Malang).
Kecenderungan kita akan mengucapkan kata terima kasih kepada orang yang telah menolong kita secara nyata. Ya, secara nyata! Kita jarang sekali mengucapkan terima kasih kepada yang secara tidak langsung telah membantu kita. Semisal, saya sering menemui ketika naik angkot masih banyak penumpang yang tidak mengucapkan “terima kasih”. Hal sepele, namun dilupakan.
Kasus ketika kita naik angkot dalih yang biasa kita gunakan adalah: “ya kan saya bayar dia”, “kan kerja, ya buat apa terima kasih?”, atau yang paling menjengkelkan “saya biasanya bilang terima kasih, tapi sekarang aja engga”. Banyak sekali alasan kita, tapi pernahkah kita berpikir ketika sopir angkot itu tidak ada siapa yang akan mengantar kita ke tujuan? Ketika sopir angkot tidak mengantarkan kita dengan selamat, apakah bisa kita beraktivitas seperti biasa? Kasus angkot ini sepele, namun ini menunjukkan kita susah mengatakan “terima kasih” kepada yang menolong kita namun secara tidak langsung.
Setidaknya bunda saya dulu mengajari saya untuk mengatakan terima kasih kepada semua orang, baik yang membantu maupun tidak. Yang kita anggap tidak membantu apa salahnya kita ucapkan “terima kasih”? Siapa tahu sebenarnya dia yang paling berperan dalam membantu kita.
Kasus lain yang sering membuat kita susah mengatakan terima kasih, kasus tukang parkir. Secara langsung tukang parkir membantu kita yang ingin menjaga barang kita (kendaraan bermotor) ketika kita hendak menuju sesuatu yang tidak bisa membawa kendaraan kita. Namun sayang, meski membantu secara langsung (bahkan kita menyadari itu) kita susah untuk berterima kasih kepada mereka.
Akhirnya saya membuat kesimpulan baru (namun tidak terlalu kuat) bahwa kita akan susah berterima kasih ketika kita merasa lebih daripada orang yang membantu kita. Kesimpulan ini diperkuat dengan contoh:
Ketika kita menjalin kerjasama dengan suatu lembaga yang mana lembaga itu yang terlihat membutuhkan kita biasanya diakhir pertemuan itu mereka lah yang akan mengatakan “terima kasih”. Padahal, kita dan mereka sama-sama menguntungkan dan saling bantu-membantu. Namun karena posisi kita yang lebih kuat biasanya itu yang membuat kasus tersebut.
Masih banyak sekali contoh yang sebenarnya membuat kita susah mengatakan terima kasih. Senang berlebihan, sedih berlebihan, kekuasaan, posisi lebih diatas, hingga egoisme turut andil yang membuat kita susah untuk mengatakan kata “terima kasih”. Terlebih banyak yang hanya mengucapkan terima kasih kalau ada perlu saja dan menguntungkannya, ketika tidak kemudian kita menghujatnya.say terima kasih feel hard if we not make a habit. Kata guru Agama Islam saya dulu, terima kasih itu ucapan syukurnya ada 2, ke sesama manusia dan yang kedua ke Tuhan kita sendiri. Jadi dengan kita mengatakan terima kasih maka kita telah berhubungan dengan Tuhan dan sesama manusia. (AWI)
Sumber:
https://sihitamspeak.wordpress.com/2015/06/08/susahnya-bilang-terima-kasih/